
Tangkapan gambar dari udara Kavling lokasi Perambahan hutan di Gunung Geureudong (doc)
ACEH, REAKSIONE.ID | Bencana banjir besar yang melanda wilayah Aceh kembali membuka luka lama: rusaknya kawasan hutan lindung di kaki Gunung Geureudong. Di tengah proses evakuasi dan pendataan, terungkap tiga Gampong yang hilang tertimbun material banjir bandang dari aliran sungai yang berhulu di gunung berketinggian 2.880 mdpl tersebut.
Tiga Gampong yang dinyatakan hilang itu meliputi:
- Gampong Sawang, Aceh Utara
- Gampong Jambo Aye, Aceh Utara
- Satu gampong di Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen
Warga menyebut, banjir kali ini berbeda dari biasanya, dikarenakan lebih besar, lebih cepat, dan membawa material kayu dalam jumlah luar biasa. Temuan lapangan memperlihatkan adanya kavling-kavling perkebunan hingga 25 hektar per bidang di kawasan yang seharusnya menjadi benteng resapan air di kaki Gunung Geureudong.
Dari foto udara dan penelusuran warga setempat, tampak titik-titik kuning dan hijau yang menandai kavling baru di wilayah hutan lindung. Pola pembukaan lahan tersebut diduga berlangsung bertahun-tahun, namun tidak mendapat penindakan tegas.
Akibatnya, struktur tanah di lereng gunung menjadi labil. Ketika hujan deras turun, air tak lagi tertahan akar pepohonan dan mengalir deras membawa lumpur serta batang-batang kayu yang kemudian menghantam permukiman di bawahnya.
Seorang pemerhati hutan lindung di Aceh, Dr. Farhan Iskandar, menegaskan bahwa hilangnya tiga gampong tersebut bukan semata bencana alam.
“Ini adalah harga yang kita bayar akibat pembiaran perambahan hutan. Banjir kali ini bukan musibah tiba-tiba, melainkan akumulasi kelalaian yang berlangsung lama. Pelaku pembukaan lahan harus ditindak, dan aparat yang menutup mata juga harus diperiksa,” ujarnya.
Farhan menambahkan, Geureudong adalah salah satu kawasan hulu paling penting di Aceh. Begitu kawasan ini digunduli, dampaknya justru mengalir ke banyak kabupaten.
“Air dari Geureudong mengalir ke Aceh Utara, Bireuen, hingga sebagian Bener Meriah. Rusaknya hutan di sini berdampak langsung pada ratusan ribu jiwa,” katanya.
Aktivis lingkungan mendorong pemerintah tidak berhenti pada respons darurat semata. Mereka menuntut:
- Penegakan hukum terhadap para perambah hutan dan pemodal kavling
- Pemetaan rutin kawasan hutan lindung menggunakan citra satelit
- Pengawasan terpadu lintas kabupaten
- Restorasi lereng Geureudong sebagai kawasan resapan air
“Jika kita terus membiarkan hutan di kaki gunung dipotong-potong menjadi Perkavlingan, maka banjir seperti ini hanya soal waktu untuk terulang,” tegas Farhan.
Banjir yang menenggelamkan tiga gampong ini menjadi alarm keras bahwa Aceh berada di ambang krisis ekologis. Tanpa langkah tegas dan berkelanjutan, bencana serupa dapat berdampak lebih luas, merusak alam, dan mengancam keselamatan warga yang hidup di sepanjang aliran sungai Geureudong.(**)
0 Komentar