
Ilustrasi
ACEH, REAKSIONE.ID | Dalam ruang publik negeri ini, citra kepemimpinan sering kali dikemas dalam balutan simbol kemewahan: jas rapi, senyum diplomatis, dan janji-janji manis di panggung politik. Namun di balik kemasan itu, kerap tersembunyi wajah lain—sebuah hipokrisi yang perlahan menggerogoti sendi-sendi moral dan peradaban bangsa.
Kepemimpinan sejati semestinya lahir dari nurani dan pengabdian, bukan dari ambisi dan sandiwara politik. Tetapi yang tampak kini, sebagian pemimpin justru menjadikan kekuasaan sebagai panggung sandiwara. Mereka memainkan peran bak aktor dalam drama ketoprak zaman, mengumbar retorika tanpa makna, menjual mimpi atas nama kesejahteraan rakyat.
Dengan modal kekayaan dan koneksi, mereka menapaki tangga kekuasaan bukan untuk mengabdi, melainkan menguasai. Janji politik dijadikan alat hipnotis massal, sementara rakyat diposisikan sekadar penonton yang harus bertepuk tangan pada setiap adegan palsu.
Ketika tahta berhasil digenggam, layar kekuasaan berubah menjadi panggung kepentingan. Jabatan strategis dibagikan kepada kerabat, loyalis, dan buzzer yang dulu menjadi corong kampanye. Pemerintahan pun bergeser menjadi “perusahaan keluarga”, di mana program publik dikooptasi untuk memperkuat posisi kolega, bukan menyejahterakan rakyat.
Dalam situasi semacam ini, demokrasi kehilangan ruhnya. Pemimpin yang lahir dari kemunafikan politik akan menindas dengan senyum dan menghancurkan dengan alasan pembangunan. Mereka memoles citra dengan jargon moralitas, tetapi menindas aspirasi di balik meja rapat tertutup.
Lebih parah lagi, jaringan kekuasaan ini menjelma menjadi sistem yang mengakar—menguasai birokrasi, mengendalikan anggaran, dan menutup ruang kritik. Rakyat dibiarkan terjebak dalam ilusi perubahan, sementara ketimpangan terus melebar.
Bangsa ini tak akan pernah maju bila kepemimpinan dibangun di atas kepalsuan. Pemimpin sejati tidak perlu topeng, karena integritas tidak butuh panggung.
Kita membutuhkan figur yang jujur, berani, dan rendah hati—mereka yang melihat jabatan sebagai amanah, bukan alat memperkaya diri. Sebab peradaban tidak runtuh oleh gempa, melainkan oleh hipokrisi yang dibiarkan tumbuh di kursi kekuasaan.(**)
0 Komentar