![]() |
| Bendera Bintang Buleun Aceh (istimewa) |
ACEH, REAKSIONE.ID | Setiap memasuki penghujung tahun, wacana pengibaran Bendera Bintang Buleun kembali menghangat di Aceh. Di media sosial, kreasi foto, video, hingga aksi simbolik pengibaran bendera dengan bulan sabit dan bintang merah khas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu terus bermunculan. Isu ini menguat menjelang 4 Desember, tanggal yang kerap dikaitkan dengan “Acheh Merdehka”—momen deklarasi oleh Deklarator, Dr. Tgk Hasan Muhammad Ditiro,.PhD pada 1976 silam.
Bukan rahasia bahwa simbol tersebut memuat rekam jejak emosional masyarakat Aceh. Ada jejak sejarah, luka panjang konflik, dan rasa keterikatan terhadap jati diri yang tumbuh berlapis-lapis. “Rasa isme itu melekat pada tiap anak daerah,” ujar seorang tokoh masyarakat di Banda Aceh. “Meski konflik telah berakhir, simbol itu tetap hidup dalam memori kolektif.”
Pada 25 Maret 2013, Pemerintah Aceh dan DPRA mengesahkan Qanun Nomor 2 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Regulasi ini menetapkan bendera Aceh yang secara visual identik dengan bendera GAM. Langkah tersebut langsung memantik reaksi keras dari pemerintah pusat dan sejumlah kelompok masyarakat.
Di satu sisi, Pemerintah Aceh menegaskan bahwa qanun itu sah dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan. Mereka merujuk pada Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki 15 Agustus 2005 dan turunan hukumnya, yakni UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kedua dokumen itu menjamin Aceh memiliki kewenangan khusus, termasuk memiliki bendera, lambang, dan himne daerah.
Di sisi lain, pemerintah pusat berpijak pada PP Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah, yang melarang daerah menggunakan simbol yang dianggap mirip atau identik dengan lambang organisasi separatis. PP ini bahkan secara eksplisit menyebut “bendera bulan sabit” sebagai simbol kelompok separatis di Aceh—klausul yang menjadi dasar keberatan Kementerian Dalam Negeri terhadap Qanun Bendera Aceh.
Polemik Bendera Bintang Buleun sejatinya bersumber dari perbedaan tafsir. MoU Helsinki dengan tegas menempatkan Aceh sebagai bagian dari NKRI, sekaligus memberikan status otonomi khusus yang tidak dimiliki daerah lain. Gerakan Aceh Merdeka pun secara resmi mengakhiri perjuangan bersenjata dan diterima kembali dalam bingkai negara.
Dalam logika Pemerintah Aceh dan sebagian kalangan akademisi, simbol yang pernah digunakan GAM tak bisa lagi dikategorikan sebagai lambang gerakan separatis. Sebab, entitas GAM sebagai organisasi bersenjata telah dibubarkan, anggotanya menerima amnesti, dan seluruh proses damai telah dilegalkan negara.
Namun pemerintah pusat melihatnya berbeda. Kendati Aceh memiliki status khusus, penggunaan simbol yang identik dengan GAM dianggap berpotensi menimbulkan gesekan baru dan membuka ruang miskalkulasi atas komitmen keutuhan negara.
Dua narasi ini berjalan berdampingan lebih dari satu dekade. Qanun Bendera tetap menggantung tanpa implementasi, sementara polemiknya terus berulang setiap tahun. Publik Aceh pun terbelah—ada yang memandang Bintang Buleun sebagai simbol kebanggaan dan identitas sejarah, tapi tak sedikit yang khawatir penggunaannya akan memicu ketegangan politik baru.
Di lapangan, kreasi Bintang Buleun sering hadir dalam berbagai bentuk: mural, kostum, dekorasi, hingga atribut digital. Namun pengibaran resmi di kantor pemerintahan tetap dilarang, menunggu keputusan politik yang tak kunjung final.
Kontroversi simbol daerah ini sejatinya tidak harus berlarut-larut. Para ahli hukum otonomi daerah menilai, yang perlu dibenahi adalah kesamaan tafsir antara pemerintah pusat dan daerah mengenai status khusus Aceh pascakonflik. Selama penafsiran undang-undang terus berjalan dalam dua arah yang bertentangan, persoalan bendera akan selalu menjadi bara dalam sekam.
Status khusus Aceh seharusnya dibaca dalam konteks perdamaian, bukan lagi konflik. Jika perangkat perdamaian telah diakui negara, wajar apabila penilaian terhadap simbol-simbol yang lahir dari masa lalu ikut disesuaikan dengan realitas politik saat ini.
Pada akhirnya, dilema Bendera Bintang Buleun bukan hanya soal selembar kain. Ini adalah cermin pergulatan Aceh antara sejarah, identitas, dan masa depan.
Agar tidak menjadi api baru pada tanah yang telah memilih damai, diperlukan keberanian kedua pihak untuk berdialog jernih, menafsir ulang aturan dengan perspektif kekinian, dan memastikan simbol tidak kembali menjadi pemecah, melainkan penyatu.
Bintang Buleun bisa saja tetap menjadi simbol kebanggaan Aceh—selama dibaca sebagai bagian dari perjalanan menuju perdamaian, bukan jalan kembali pada masa lalu yang telah ditutup bersama.
Paya Labuy-Aceh
20 November 2025

0 Komentar