Oleh Redaksi

ILUSTRASI
JAKARTA, REAKSIONE.ID | Di tengah derasnya arus digitalisasi ekonomi dan upaya menjaga stabilitas fiskal, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membuka kembali satu lembar sejarah lama: redenominasi Rupiah. Kebijakan yang sempat mengemuka di era 2010-an itu kini kembali diperkuat di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa—dengan semangat baru dan strategi yang lebih realistis.
Redenominasi, atau penyederhanaan nilai nominal uang tanpa mengubah daya belinya, bukan sekadar soal “menghapus nol”. Ia adalah simbol kedewasaan ekonomi sebuah negara, ketika kepercayaan terhadap stabilitas nilai uang telah terbangun kokoh.
Dalam Rencana Strategis (Renstra) Kemenkeu 2025–2029, redenominasi masuk sebagai agenda resmi melalui PMK Nomor 70 Tahun 2025.
Langkah itu menjadi sinyal bahwa pemerintah ingin mengembalikan citra Rupiah—yang selama ini identik dengan angka besar—menjadi lebih sederhana, efisien, dan setara dengan mata uang internasional.
“Bayangkan membayar secangkir kopi seharga Rp10.000 menjadi Rp10,” ujar seorang pejabat Kemenkeu tersenyum.
“Nilainya sama, hanya nominalnya yang lebih mudah dibaca dan diproses.”
Bagi publik, perubahan ini mungkin terdengar kosmetik. Namun di dunia ekonomi dan akuntansi, penyederhanaan nominal berarti efisiensi besar-besaran: sistem pembayaran lebih cepat, laporan keuangan lebih ringkas, dan persepsi terhadap Rupiah di pasar global meningkat.
Pemerintah tampak belajar dari pengalaman masa lalu. Jika pada dekade sebelumnya wacana redenominasi berhenti di meja wacana, kini Kemenkeu mengambil langkah lebih konkret: menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi Rupiah dengan target penyelesaian tahun 2027.
Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) ditunjuk sebagai penanggung jawab teknis.
Purbaya menegaskan, prosesnya akan dilakukan bertahap dan berbasis bukti (evidence-based policy).
“Redenominasi tidak bisa tergesa-gesa. Harus ada keyakinan bahwa inflasi terkendali, pertumbuhan stabil, dan masyarakat siap,” ujar Purbaya dalam forum internal Kemenkeu beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) menyiapkan diri sebagai pelaksana teknis. Tugasnya mencakup desain dan pencetakan uang baru, penarikan uang lama, hingga kampanye edukatif kepada masyarakat.
BI menyadari, keberhasilan redenominasi bukan hanya soal logistik, tapi juga psikologi publik.
“Begitu uang baru beredar, persepsi masyarakat harus dijaga agar tidak salah paham. Tidak boleh ada kesan nilai uang berubah,” kata Deputi Gubernur BI bidang sistem pembayaran.
Oleh karena itu, BI menilai momentum ekonomi saat ini cukup kondusif: inflasi terkendali di kisaran rendah, defisit anggaran terjaga, dan stabilitas nilai tukar relatif stabil di bawah Rp16.000 per dolar AS.
Indonesia bukanlah negara pertama yang menempuh jalan redenominasi.
Korea Selatan melakukannya pada 1962, Turki pada 2005 dengan memangkas enam nol dari Lira, dan Zimbabwe pada 2015 setelah hiper-inflasi.
Bedanya, Indonesia berangkat dari posisi yang lebih kuat—bukan karena krisis, tetapi untuk memperkuat kredibilitas moneter.
Ekonom senior Universitas Indonesia, Teguh Santoso, menilai langkah ini tepat waktu.
“Redenominasi bukan kebutuhan mendesak, tapi kebutuhan strategis. Ia menunjukkan bahwa kita percaya diri terhadap stabilitas ekonomi jangka panjang,” ujarnya.
Redenominasi memang tidak akan mengubah nilai kekayaan, gaji, atau harga barang. Namun, ia akan mengubah cara bangsa ini memandang uang—lebih sederhana, efisien, dan modern.
Rupiah baru kelak mungkin tak lagi memiliki deretan nol panjang, namun akan memancarkan kepercayaan diri baru bagi ekonomi Indonesia.
Seperti yang diungkapkan seorang analis perbankan,
“Rupiah tanpa banyak nol adalah cermin bangsa yang sudah siap berdiri sejajar dengan ekonomi besar dunia.”
Pemerintah kini tengah menyiapkan peta jalan (roadmap) sosialisasi dan transisi. Setelah RUU selesai, akan dilakukan uji coba terbatas di sektor keuangan dan bisnis, sebelum diterapkan secara nasional.
Perjalanan redenominasi mungkin masih panjang, namun arah sudah jelas: menata ulang nilai, membangun kepercayaan, dan mengukuhkan martabat Rupiah di kancah global.
Redaksi
Reaksione.id
0 Komentar