Breaking News

Banderol ISME Dibalik Kepentingan

Juwaini Husen

 ACEH, REAKSIONE.ID 
Dalam pusaran politik dan kepentingan lokal yang kian mengeras, idealisme perlahan kehilangan bentuknya. Di balik jargon pengabdian dan seruan membela rakyat, terselip transaksi kepentingan yang dibungkus rapi dengan legitimasi formal. Ketika dendam lama disulut kembali, yang lahir bukanlah kemajuan daerah, melainkan bara konflik yang menggerogoti marwah dan nurani.

Hiruk-pikuk ruang publik, tudingan dan hujatan berseliweran tanpa kendali. Satu sama lain saling menyudutkan, berebut Claim atas karya dan gagasan yang bahkan belum tentu lahir dari buah pikir murni. Di balik layar, ada hasrat menunggang kepentingan—politik, ekonomi, hingga ego pribadi—yang menjelma menjadi bara dendam tak berujung.

Dendam politik tak terselesaikan menjadi bara api yang membakar kewarasan. Akibatnya, hak-hak rakyat yang mestinya dijaga justru diperjualbelikan atas nama kepentingan berbalut Produk hingga kebijakan yang seharusnya menjadi lembaran negara kini menjelma menjadi alat transaksi, tempat kepentingan pribadi berselimut legitimasi formal.

Ironisnya, semua itu kerap dibungkus dengan jargon membela rakyat kecil. Padahal, di balik mondar-mandir lobi ke hulu dan hilir, pandangan dan langkah banyak di antara mereka tertuju pada nilai nominal—pada negosiasi terselubung yang tak kasat mata. Retorika “atas nama rakyat” hanya menjadi kamuflase, sementara pemilik sejati kedaulatan—rakyat jelata—kian tercerabut dari ruang menentukan nasibnya.

Figur publik yang semestinya menjadi teladan pun perlahan kehilangan wibawa. Bukan karena fitnah orang lain, melainkan oleh perilaku dan lingkaran kecil yang memperalat mereka. Aura pengabdian memudar, tergantikan oleh ambisi pribadi yang menyesakkan. Langkah yang dulu mantap kini lunglai, kehilangan daya menghipnotis rakyat kecil yang sudah semakin cerdas menilai.

Sementara itu, opini-opini basi terus bermunculan, sarat kepentingan dan dibungkus dengan dalih “perintah undang-undang” atau “hasil lobi politik”. Tak jarang, bara dendam masa lalu kembali menyala, menunggu saat panen ketika keadaan memungkinkan. Di situlah letak ironi: mereka yang menanam bibit dendam akan menuai pahitnya sendiri.

Mungkin sudah saatnya kita bertanya—secara jujur dan mendalam—seberapa jauh nilai ISME kedaerahan tertanam dalam sanubari masing-masing? Apakah semangat membangun daerah masih berakar pada kepentingan bersama, atau telah bergeser menjadi arena mempertahankan banderol kepentingan pribadi?

Sungguh naif bila api dendam dibalut dengan topeng “kepentingan daerah” lalu dijadikan pedoman untuk menggerogoti isi negeri. Di balik topeng titah negara, sejatinya ada nurani yang tengah diuji.

Dan di sanalah hikmah akan menampakkan wajahnya—saat setiap orang memanen apa yang pernah ia tanam tempo hari.


Paya Labuy

8 November 2025

Juwaini Husen

0 Komentar

© Copyright 2025 | Reaksione - Portal Berita Terkini dan Terpercaya