Oleh Hasan Basri, S.Pd., M.M.
Ilustrasi
ACEH, REAKSIONE.ID | Bahasa, sejatinya, bukan sekadar sarana menyusun kalimat atau menyampaikan pesan. Ia adalah cara manusia berpikir, menalar, dan menafsirkan realitas. Dalam setiap kata, tersimpan gagasan; dalam setiap kalimat, terselip arah dan niat. Bahasa adalah jembatan antara pikiran dan tindakan, antara visi dan kenyataan.
" Manusia tidak mungkin mencapai tujuan hidupnya tanpa kemampuan berbahasa. Dengan bahasa, seseorang merumuskan cita-cita, mengomunikasikan strategi, dan menggerakkan diri menuju perubahan. Tanpa bahasa yang jelas, pikiran pun kabur. Tanpa bahasa yang kuat, gagasan kehilangan daya dorong.
Seperti halnya kompas dan peta, bahasa memberi arah serta panduan menuju tujuan. Di tangan yang tepat, bahasa dapat menjadi alat transformasi sosial yang dahsyat. Namun di tangan yang salah, ia bisa pula menjadi sumber kebingungan, bahkan manipulasi.
Dalam dunia pendidikan, bahasa memiliki peran yang jauh lebih fundamental. Bagi seorang guru, bahasa bukan hanya medium komunikasi, melainkan instrumen utama untuk menanamkan ilmu, nilai, dan karakter. Guru tidak hanya mengajar, tetapi membentuk manusia—dan bahasa adalah alat utama dalam proses itu.
" Seorang guru matematika mungkin menjelaskan rumus dengan simbol, tetapi ia menggunakan bahasa untuk menuntun logika berpikir. Guru agama menanamkan nilai moral melalui bahasa yang menyentuh nurani. Guru seni memantik imajinasi lewat bahasa yang membangkitkan rasa. Di setiap ruang kelas, bahasa menjadi jantung interaksi antara nalar dan hati.
Bahasa pula yang menentukan arah hubungan antara guru dan murid. Bahasa yang empatik menumbuhkan kepercayaan; bahasa yang persuasif menumbuhkan semangat; bahasa yang reflektif menumbuhkan kesadaran. Sebaliknya, bahasa yang kasar, kaku, dan tanpa makna justru menutup ruang belajar yang sehat.
Dalam konteks inilah, kemampuan guru menggunakan bahasa menjadi prasyarat untuk membangun generasi pembelajar yang kritis dan beradab. Formulasi tujuan pembelajaran, cara memberi umpan balik, hingga kemampuan meredakan konflik di kelas—semuanya berpijak pada penguasaan bahasa yang baik.
Kini, dunia pendidikan dihadapkan pada fenomena besar: hadirnya Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI). Kehadirannya menandai pergeseran paradigma dalam belajar, mengajar, dan berinteraksi. Jika dahulu guru menjadi satu-satunya sumber pengetahuan, kini AI menjadi mitra baru yang menawarkan akses informasi tanpa batas, kecepatan analisis luar biasa, dan kemampuan menyesuaikan diri dengan kebutuhan pengguna.
Namun, kehadiran AI seringkali menimbulkan pertanyaan eksistensial: apakah peran guru akan tergantikan? Apakah bahasa manusia akan tergusur oleh bahasa mesin?
Jawabannya: tidak. AI bukanlah pengganti manusia. Ia adalah introducer—pembuka gerbang bagi manusia untuk memasuki dimensi baru pengetahuan. AI mempercepat proses belajar, tetapi tidak menggantikan proses berpikir. Ia mengolah data, tetapi tidak memiliki intuisi dan empati.
Dalam dunia pendidikan, AI justru menjadi alat bantu yang memperkaya. Guru dapat menggunakan AI untuk menyiapkan materi ajar yang lebih relevan, merancang evaluasi berbasis data, atau menciptakan simulasi pembelajaran yang interaktif. AI juga dapat membantu siswa memahami konsep rumit melalui visualisasi atau penjelasan kontekstual yang mudah dipahami.
Namun, semua keunggulan itu bergantung pada satu hal mendasar: bahasa.
AI bekerja melalui bahasa, dan sekaligus menghasilkan bahasa. Model AI seperti Large Language Model (LLM) mempelajari pola komunikasi manusia dari miliaran teks dan percakapan. Setiap perintah yang kita berikan kepada AI—dalam bentuk prompt—adalah ekspresi kemampuan berbahasa kita.
Di sinilah letak paradoks sekaligus tantangan. Semakin baik kualitas bahasa yang digunakan dalam berinteraksi dengan AI, semakin cerdas pula hasil yang diberikan. Kualitas output AI selalu bergantung pada kualitas input bahasa manusia.
" Guru dan siswa yang mampu menyusun pertanyaan dengan jelas, sistematis, dan kritis akan memperoleh jawaban yang jauh lebih bermakna. Sebaliknya, bahasa yang ambigu dan dangkal hanya akan menghasilkan keluaran yang kabur.
Oleh karena itu, literasi bahasa kini menjadi kunci utama dalam literasi digital. Menguasai teknologi tanpa menguasai bahasa sama saja seperti memiliki mesin canggih tanpa tahu cara mengemudikannya.
AI memang mampu memproses bahasa, tetapi ia tidak memahami makna dengan kesadaran seperti manusia. Di titik inilah peran guru menjadi sangat penting: membimbing siswa agar tidak sekadar meminta jawaban dari AI, tetapi memahami proses berpikir di balik jawaban itu.
Era AI menuntut guru untuk bertransformasi dari pengajar menjadi kurator dan fasilitator. Guru tidak lagi sekadar menyampaikan informasi, melainkan mengarahkan peserta didik untuk memilah, mengkritisi, dan mengolah informasi yang berlimpah.
Dengan bantuan AI, guru dapat mempersonalisasi pembelajaran, menyesuaikan metode dengan gaya belajar siswa, serta mempercepat umpan balik. Namun, tanggung jawab moral dan etika tetap berada di tangan manusia. Guru adalah penjaga nilai—sesuatu yang tak mungkin dilakukan oleh mesin.
Bahasa menjadi perekat antara teknologi dan kemanusiaan. Dalam mengajarkan AI, guru juga mengajarkan nilai-nilai: kejujuran dalam menggunakan sumber, kehati-hatian terhadap bias informasi, dan kesadaran bahwa teknologi hanyalah alat, bukan pengganti akal budi.
" Perkawinan antara bahasa dan AI membuka babak baru dalam dunia pendidikan, tetapi juga membawa tantangan baru. Ketika AI dapat menulis esai, meringkas buku, atau menyusun soal ujian dalam hitungan detik, muncul risiko menurunnya kedalaman berpikir manusia.
Bahaya sebenarnya bukan terletak pada AI yang semakin cerdas, melainkan pada manusia yang berhenti berpikir kritis. Di sinilah peran bahasa—sebagai alat refleksi—menjadi vital. Melalui bahasa, manusia mempertanyakan, menafsirkan, dan memaknai.
Bahasa menuntun manusia untuk tidak sekadar tahu, tetapi memahami; tidak sekadar menguasai teknologi, tetapi menundukkannya untuk tujuan kemanusiaan.
" Guru adalah penjaga nilai-nilai ini. Ia menjadi jembatan antara generasi muda dan dunia digital, antara bahasa manusia dan bahasa mesin, antara pengetahuan dan kebijaksanaan.
AI tidak akan mematikan peran guru; justru memperluasnya. Bahasa tidak akan kehilangan maknanya; justru menemukan bentuk baru. Yang dibutuhkan adalah kemampuan manusia untuk memadukan keduanya secara bijak.
" Bahasa adalah gerbang pemahaman, sementara AI adalah lorong percepatan di balik gerbang itu. Guru yang mampu memanfaatkan keduanya akan menjadi pemandu yang tak tergantikan dalam perjalanan generasi menuju masa depan.
Di tengah derasnya arus digitalisasi, satu hal tetap pasti: kemajuan sejati bukan diukur dari seberapa cepat kita beradaptasi dengan teknologi, melainkan dari seberapa dalam kita menjaga kemanusiaan di dalamnya.
Aceh, 9 November 2025
Hasan Basri, S.Pd., M.M.
Pemerhati Pendidikan dan Literasi Digital
0 Komentar