
Hasan Basri, S.Pd., M.M.
ACEH, REAKSIONE.ID | Di tengah ambisi membangun generasi emas 2045, ada kegelisahan yang tak bisa diabaikan: meredupnya semangat sebagian guru dalam menjalankan peran mulianya sebagai pendidik. Fenomena ini bukan sekadar penurunan motivasi, melainkan sinyal krisis nilai di jantung profesi yang seharusnya menjadi pilar peradaban.
Guru, yang dulu menjadi simbol keteladanan dan sumber inspirasi, kini di banyak ruang kelas tampak seperti lentera yang kehabisan minyak. Semangat membimbing dan menghidupkan rasa ingin tahu siswa mulai redup, tergantikan rutinitas administratif tanpa jiwa.
“Ketika semangat guru padam, maka yang gelap bukan hanya kelas, tetapi masa depan bangsa.”
Salah satu tanda paling nyata dari pudarnya gairah ini adalah krisis literasi yang menjangkiti kalangan pendidik. Tidak sedikit guru yang mulai menjauh dari kegiatan membaca, menulis, dan berdiskusi. Padahal, literasi adalah oksigen profesi guru — sumber energi yang menghidupkan kepekaan, kreativitas, dan kemampuan berpikir kritis.
Kini, banyak proses belajar mengajar berlangsung tanpa sentuhan inspiratif. Guru datang, mengajar sekadar menggugurkan kewajiban, lalu pulang. Kelas menjadi ruang hampa: tidak ada percikan ide, tidak ada dialog yang membangkitkan semangat belajar.
Saat murid menghadapi kesulitan, guru kerap absen sebagai pembimbing sejati. Akibatnya, terbentuk jurang antara potensi siswa dan dukungan pedagogis yang seharusnya mereka dapatkan. Padahal, guru sejati bukan sekadar pengajar, melainkan penuntun kehidupan.
Pemerintah telah menempuh berbagai langkah untuk menyejahterakan guru: sertifikasi, tunjangan profesi, hingga peningkatan fasilitas. Namun, kesejahteraan finansial tidak selalu menjamin lahirnya etos kerja yang lebih tinggi.
“Kenaikan insentif tak akan berarti tanpa kenaikan integritas.”
Kita perlu bertanya dengan jujur: apakah kesejahteraan yang membaik telah diimbangi dengan kesungguhan mengajar dan belajar? Ataukah justru memunculkan rasa nyaman yang membuat sebagian guru berhenti berinovasi?
Tanpa kesadaran moral dan idealisme profesi, kesejahteraan hanya menambah kenyamanan, bukan kemajuan. Padahal, pendidikan adalah perlombaan tanpa garis akhir. Guru seharusnya memiliki personal branding kuat—identitas profesional yang mencerminkan dedikasi, pembaruan diri, dan cinta terhadap ilmu.
Sudah waktunya guru keluar dari zona nyaman yang meninabobokan. Terlalu lama berada di satu tempat atau pola kerja yang sama hanya melahirkan stagnasi. Rotasi tugas atau tantangan baru bukanlah hukuman, melainkan terapi profesional yang menumbuhkan vitalitas intelektual.
Lingkungan yang menantang akan memaksa guru beradaptasi, belajar kembali, dan menemukan cara baru untuk mengajar. Restorasi bukan hanya tentang lokasi, tapi juga mental: membangkitkan kembali rasa ingin tahu dan keberanian untuk berubah.
“Kenyamanan abadi adalah musuh utama pertumbuhan.”
Ada yang mengatakan, menurunnya gairah guru adalah tanda hilangnya rasa syukur terhadap profesi mulia ini. Sebuah refleksi yang patut direnungkan. Guru adalah amanah besar — bukan sekadar pekerjaan, tetapi ibadah intelektual yang menentukan arah bangsa.
Bagi para guru, baik PNS maupun P3K, mari kembalikan kesadaran itu. Bersyukurlah dengan cara terbaik: bekerja dengan hati, memperbarui pengetahuan, dan membimbing dengan cinta.
Ketika guru kembali mencintai profesinya, menghormati dirinya, dan menyalakan semangat muridnya, maka pendidikan akan kembali menemukan jiwanya.
“Guru bukan hanya pengajar ilmu, tetapi penyalur cahaya. Dan selama cahaya itu hidup di dada pendidik, bangsa ini takkan pernah gelap.”
Bireuen, 7 November 2025, Hasan Basri, S.Pd., M.M.
0 Komentar