![]() |
| Audensi Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dayak dengan Kejati Kalimantan Tengah (7/11) |
PALANGKA RAYA, REAKSIONE.ID | Puluhan perwakilan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (KMHA) Dayak Kalimantan Tengah melakukan audiensi dengan Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah (Kejati Kalteng) pada Kamis (6/11/2025) sekitar pukul 11.00 WIB. Audiensi diterima langsung oleh Asisten Intelijen Kejati Kalteng Hendri Hanafi, S.H., M.H. dan Kepala Seksi Tindak Pidana terhadap Orang dan Harta Benda (Oharda), Dwinanto Agung Wibowo.
Pertemuan tersebut dipimpin oleh Sapriyadi, S.H., selaku koordinator KMHA Dayak Kalteng, yang menyampaikan dua pokok permohonan kepada Kejati Kalteng. Permohonan itu berfokus pada penegakan hukum yang berkeadilan bagi masyarakat adat, terutama dalam perkara yang berkaitan dengan sengketa lahan antara masyarakat adat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Dalam poin pertama, KMHA Dayak meminta Kejati Kalteng dan seluruh Kejaksaan Negeri, khususnya Kejari Sampit, agar konsisten menggunakan Pasal 107 huruf d Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, dalam menangani perkara pemanenan atau pemungutan hasil sawit yang dilakukan oleh masyarakat adat di atas tanah yang masih bersengketa.
Sapriyadi menegaskan, selama ini banyak anggota masyarakat adat yang ditangkap dan ditahan oleh penyidik dengan penerapan Pasal 362 atau 363 KUHP tentang pencurian, yang ancaman hukumannya lebih berat, padahal akar permasalahan sejatinya adalah sengketa lahan.
“Kami meminta agar jaksa peneliti lebih cermat dan tidak serta-merta menggunakan pasal pidana umum. Jaksa harus memastikan terlebih dahulu apakah lahan yang dimaksud merupakan wilayah adat, dan apakah hasil sawit itu dipanen untuk kepentingan hidup sehari-hari, bukan komersial,” ujar Sapriyadi.
Ia menambahkan, Kejaksaan wajib berpedoman pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-XIII/2015 jo. Putusan Nomor 122/PUU-XIII/2015, yang menegaskan bahwa masyarakat adat memiliki hak konstitusional atas wilayah adatnya.
Pada poin kedua, KMHA Dayak meminta agar Kejati Kalteng menjalankan Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor B-230/E/Ejp/01/2013 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum yang Objeknya Berupa Tanah. Surat edaran tersebut menekankan agar aparat penegak hukum tidak memaksakan perkara perdata menjadi perkara pidana dengan pasal-pasal seperti 170, 263, 266, 378, 385, atau 406 KUHP.
“Kasus-kasus yang seharusnya bersifat perdata sering direkayasa menjadi pidana. Ini bentuk pelanggaran asas hukum dan sangat merugikan masyarakat adat,” tegas Sapriyadi.
Selain dua pokok permohonan tersebut, KMHA Dayak juga menyerahkan daftar sejumlah perkara konkret yang saat ini sedang ditangani, baik di tingkat penyidikan maupun di pengadilan, yang melibatkan anggota masyarakat adat. Mereka meminta Kejati Kalteng memberi atensi khusus terhadap kasus-kasus yang berpotensi dikriminalisasi, terutama di wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur.
Menurut Sapriyadi, banyak warga adat yang menjadi korban karena penyidik menggunakan pasal pencurian, sehingga mereka dapat langsung ditangkap dan ditahan. Namun, dalam proses persidangan, jaksa justru menuntut dengan UU Perkebunan, dan majelis hakim membenarkan penerapan pasal tersebut.
“Artinya, jika sejak awal jaksa konsisten menerapkan hukum secara proporsional, tidak akan ada masyarakat adat yang ditahan. Sebab, ancaman pidana dalam UU Perkebunan maksimal hanya empat tahun,” jelasnya.
Menutup audiensi, Sapriyadi menyerukan agar Kejaksaan Republik Indonesia, khususnya Kejati Kalteng dan jajarannya, tetap menjaga integritas, kemandirian, dan profesionalisme dalam menjalankan fungsi penegakan hukum.
“Kami berharap Kejaksaan tidak membiarkan hukum diperkosa oleh kepentingan pihak tertentu. Kejaksaan harus berdiri di atas keadilan, bukan di bawah tekanan,” pungkasnya.
Audiensi tersebut berlangsung dalam suasana dialogis dan penuh harapan agar penegakan hukum di Kalimantan Tengah lebih sensitif terhadap hak-hak masyarakat adat dan prinsip keadilan sosial. (Irwansyah)

0 Komentar