
Hindon 46 tahun, warga Gampong Meunasah Krung, Kecamatan Peudada, menanti kejelasan ganti rugi dari pembebasan lahan Daerah Irigasi (DI) Aneuk Gajah Rheot (doc)
BIREUEN, REAKSIONE.ID | Pagi itu, sinar matahari menembus sela dinding papan rumah tua milik Hindon, seorang janda 64 tahun, di Dusun Tgk. Muqaddin, Gampong Meunasah Krung, Kecamatan Peudada. Di atas kursi kayu reyot, ia duduk mengusap kedua kakinya yang mulai kaku dimakan usia. Pandangannya menerawang jauh ke hamparan bukit di depan rumah—tanah yang dulu dibuka dengan keringat dan doa oleh almarhum suaminya, kini menjadi bagian dari proyek irigasi yang tak kunjung tuntas.
Selama tujuh tahun terakhir, Hindon menanti kejelasan ganti rugi dari pembebasan lahan Daerah Irigasi (DI) Aneuk Gajah Rheot. Ia sudah setuju lahannya dibebaskan dengan harga Rp100.000 per meter, tetapi hingga kini, nilai ganti rugi rumah yang berdiri di atasnya masih menggantung tanpa kepastian.
“Rumah ini dibangun suami saya dulu, waktu belum ada alat berat. Ia mencangkul tanah bukit ini siang malam. Sekarang katanya mau diganti Rp80 juta, tapi kalau dihitung, membangun rumah baru saja butuh lebih dari itu,” ujarnya lirih, 1 Oktober 2025.
Hindon tak menolak pembangunan. Ia tahu proyek irigasi ini penting bagi ribuan petani Peudada. Namun, bagi seorang janda yang kini tak lagi mampu bekerja karena sakit di kaki dan pinggang, nilai kompensasi bukan sekadar angka—melainkan harapan terakhir untuk tetap memiliki tempat berteduh.
“Saya cuma ingin rumah baru yang layak. Biaya tukang Rp15 juta, bahan bangunan Rp65 juta. Saya tak tahu harus mencari ke mana kalau uangnya kurang. Sekarang pun hidup saya bergantung pada anak-anak,” katanya, sembari menahan air mata.
Dulu, Hindon dikenal sebagai buruh tani harian lepas, bekerja di sawah-sawah tetangga dengan upah Rp80.000 per hari. Tapi kini, sejak tubuhnya melemah, ia hanya bisa menjaga cucu di rumah sembari berharap ada kabar baik dari pemerintah.
Keuchik Gampong Meunasah Krung, M. Azhar, memahami keresahan warganya. Ia menyatakan siap memfasilitasi pertemuan antara Hindon dan instansi terkait agar persoalan ini segera tuntas.
“Pembangunan irigasi Aneuk Gajah Rheot sangat vital, tapi hak warga juga harus dijaga. Kita ingin solusi yang adil agar semua pihak bisa menerima dengan lapang,” ujarnya.
Proyek DI Aneuk Gajah Rheot sejatinya menjadi tumpuan hidup masyarakat Peudada dan sekitarnya. Sejak bendungan di Gampong Hagu rusak pada Januari 2024, ribuan hektare sawah mengering, petani kehilangan penghidupan, dan roda ekonomi melambat. Namun, tanpa penyelesaian pembebasan lahan yang adil, proyek yang diharapkan menjadi berkah justru berpotensi menimbulkan luka sosial.
Kini, di rumah tua yang nyaris lapuk itu, Hindon terus berdoa agar pemerintah segera memberi kepastian. Ia tak menolak pembangunan, tapi ia juga berhak atas keadilan.
Sebab bagi Hindon, rumah bukan hanya tempat tinggal, melainkan simbol perjuangan hidup, cinta, dan kenangan bersama suami yang telah tiada.
📰 Catatan Redaksi:
Kisah Hindon adalah cermin wajah pembangunan yang belum sepenuhnya berpihak pada rakyat kecil. Di tengah upaya memajukan sektor pertanian, pemerintah diharapkan tidak mengabaikan keadilan sosial. Pembebasan lahan harus dilakukan dengan transparansi, empati, dan kepastian hukum agar tidak melahirkan ketimpangan baru di lapangan.(**)
0 Komentar