![]() |
| Foto: Hasan Basri S.Pd,. MM bersama Kacabdin Pendidikan Aceh, Abdul Hamid, S.Pd,.M.Pd (doc) |
ACEH, REAKSIONE.ID | Seruan tegas Kepala Cabang Dinas Pendidikan (Kacabdin) Wilayah Bireuen, Abdul Hamid, agar guru mendapatkan perlindungan dan dukungan penuh dari semua pihak, termasuk orang tua, bukan sekadar imbauan biasa. Ini adalah alarm keras atas rapuhnya ekosistem pendidikan jika sosok pendidik tidak berdiri di tempat yang semestinya: sebagai figur yang dihormati dan dijaga.
Guru adalah benteng terakhir pendidikan karakter. Mereka bukan hanya pengajar kurikulum, melainkan pembentuk mentalitas, etika, dan masa depan anak bangsa. Namun realitas hari ini menunjukkan, tugas mereka makin kompleks. Di tengah tekanan kurikulum, beban administrasi, dan perilaku siswa yang kian dinamis, banyak guru justru terhalang rasa takut mengambil langkah mendidik karena minimnya dukungan moral, hukum, maupun sosial.
Pendidikan Sejati Tak Bisa Berjalan Jika Guru Tak Aman
Guru membutuhkan ruang aman untuk mengajar dengan hati — bukan dengan rasa waswas. Proteksi terhadap profesi mereka bukan berarti membiarkan kekeliruan, melainkan memberi legitimasi pada tindakan mendidik yang proporsional, berimbang, dan berorientasi membangun karakter anak.
Tiga pilar sentuhan pendidikan yang ideal kini semakin mendesak untuk dijaga:
- Sentuhan empati dan humanisme, menjadikan guru bukan sekadar instruktur, tetapi pengarah masa depan yang memahami latar belakang tiap siswa.
- Sentuhan keteladanan, karena karakter bukan diajarkan dengan kata-kata, tapi diwariskan melalui contoh nyata.
- Sentuhan kedisiplinan yang mendewasakan, bukan hukuman membabi buta, melainkan pembentukan tanggung jawab dan batas etika yang jelas.
Semua ini mustahil terwujud jika guru tidak dipayungi kolaborasi keluarga dan institusi.
Gadget: “Bencana Sunyi” yang Sedang Menggerogoti Generasi
Ancaman terbesar pendidikan hari ini datang tanpa suara — kecanduan gawai (HP). Hampir seluruh keluhan guru terkait penurunan fokus belajar, degradasi sopan santun, dan turunnya interaksi sosial berakar dari paparan HP yang tidak terkendali.
Namun upaya sekolah akan percuma jika rumah tidak ikut menguatkan barisan.
Sekolah dan rumah bukan dua kubu. Mereka adalah satu tim.
Guru adalah pelatih di lapangan, orang tua adalah manajer di rumah. Kedua-duanya harus berjalan seirama.
Dukungan orang tua terhadap kebijakan sekolah dalam pembatasan HP bukan sekadar formalitas, melainkan langkah perlindungan nyata terhadap masa depan anak-anak kita.
Pendidikan tidak akan pernah kokoh jika guru dibiarkan berdiri sendirian. Aceh membutuhkan kesadaran kolektif: menghormati guru bukan sekadar budaya, tapi fondasi peradaban.
Bireuen, Aceh
Hasan Basri, S.Pd., MM

0 Komentar